Istana – Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada di Nusa Tenggara

Hal-Hal Aneh DIDUnia 97 

Jeng jengggg ayo ayo kita berlayar ke Nusa Tenggara Ayo Ayo jangan malas malas :p :

1. Dalam Loka, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
 
Sumbawa  adalah nama sebuah pulau yang  terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di pulau ini terdapat  dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat yang merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Sumbawa. Sejarah mencatat, keberadaan Kabupaten Sumbawa atau Tana Samawa ini mulai dikenal sejak zaman Dinasti Dewa Awan Kuning (1350-1389) yang bercorak hinduistis. Corak hindu pada Dinasti Dewa Awan Kuning berakhir pada masa kepemimpinan Raja Dewa Majaruwa yang memeluk Islam setelah kerajaan menjalin hubungan dengan kerajaan islam demak di Jawa sekitar tahun 1478-1597.

Kemudian pada tahun 1623 kerajaan Dewa Awan Kuning ditaklukkan oleh Kerajaan Goa sehingga kekuasaan Kerajaan Sumbawa pun berpindah pada Dinasti Dewa Dalam Bawa. Raja pertama bergelar Sultan Hanurasyid 1. Kerajaan ini berkuasa selama 3 abad di tanah Sumbawa. Sampai saat ini masih terdapat peninggalan kerajaan berupa rumah istana Sumbawa atau istana Dalam Loka.

Rumah istana Sumbawa atau Dalam Loka merupakan peninggalan bersejarah dari kerajaan yang berlokasi di kota Sumbawa Besar. Dalam Loka dibangun pada tahun 1885 oleh Sultan Muhammad Jalalludin III (1983-1931) untuk menggantikan bangunan-bangunan istana yang telah dibangun di tanah tersebut sebelumnya karena telah lapuk dimakan usia bahkan hangus terbakar. Istana-istana itu diantaranya Istana Bala Balong, Istana Bala Sawo dan Istana Gunung Setia. Dalam Loka sendiri berasal dari dua kata yakni dalam yang berarti istana atau  rumah-rumah di dalam istana dan loka yang berarti dunia atau tempat. Jadi, Dalam Loka bermakna istana tempat tinggal raja.

Dalam Loka memiliki luas 696,98 m2 dengan 2 bangunan kembar yang ditopang oleh 98 tiang kayu jati dan 1 buah tiang pendek (tiang guru) yang terbuat dari pohon cabe. Secara keseluruhan jumlah tiang penopang adalah 99 tiang yang melambangkan 99 sifat Allah (asmaul husna).

Sejak dibangunnya istana baru pada tahun 1932 yang kemudian pada tahun 1954 dijadikan rumah dinas “wisma praja” bupati Sumbawa, keadaan Dalam Loka sudah tidak terawat lagi. Pada tahun 1979-1985 Dalam Loka dipugar kembali oleh Departemen Kebudayaan. Kemudian di tahun 1993 Dalam Loka dijadikan sebagai  Museum Dalam Loka. Pada tahun 2001 Dalam Loka mengalami pemugaran kembali yang didanai oleh proyek pelestarian sejarah dan purabakala Nusa Tenggara Barat hasil kerja sama pemerintah Indonesia dan Jepang. Pada tahun 2011 dilakukan revitalisasi kompleks Dalam Loka.

2. Istana Bala Kuning, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
http://wisatadirektori.com/wp-content/uploads/2015/10/ 
Seperti halnya dengan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia, Sumbawa pun memiliki banyak cerita sejarah yang pernah terjadi bertahun-tahun silam. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa bangunan bersejarah yang merupakan saksi bisu perjalanan cerita di masa lampau. Salah satu bangunan tersebut adalah bangunan yang diberi nama Bala Kuning. Merupakan bangunan unik yang sampai sekarang tetap berdiri kokoh dan sangat terawat keadaannya.

Istana Bala Kuning atau sering juga disebut Istana Kuning ini merupakan bangunan rumah besar yang di cat berwarna kuning. Sesuai dengan simbolnya bahwa warna kuning merupakan lambang dari Kesultanan Sumbawa, rumah ini memang diperuntukkan untuk keluarga Sultan.

Rumah ini merupakan tempat tinggal resmi Sultan Sumbawa Muhammad Kaharuddin III setelah beliau meninggalkan Wisma Daerah yang dikarenakan sudah terbentuknya sebuah Swatantra Tingkat II. Sultan menghuni rumah ini sampai beliau wafat dan hingga sekarang masih tetap dihuni oleh keturunan keluarganya yang terakhir.

Di dalam Istana Bala Kuning ini terdapat beberapa benda koleksi peninggalan Kesultanan Sumbawa yang terawat dengan sangat baik. Beberapa koleksi tersebut antara lain pakaian kebesaran Sultan, baju besi, perisai, peralatan jamuan dan peralatan untuk upacara adat. Ada pula beberapa koleksi foto keluarga Sultan yang terpajang rapi di dinding Istana dan juga lampu hias yang tergantung di langit-langitnya.

Ada salah satu koleksi yang sangat langka yaitu sarung tangan sawit. Selain itu terdapat pula benda koleksi yang dipercaya memiliki kekuatan magis, seperti keris, tombak, pedang, payung kamutar dan Qur’an tulisan tangan Muhammad Ibnu Abdullah Al-Jawi yang dibuat pada sekitar tahun 1784 tepatnya pada pemerintahan Sultan Harrunnurrasyid II yang berlapis emas, perak dan perunggu.

3. Asi Mbojo, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat
 
Pembangunan Asi di laksanakan dengan cara ”Karawi Kaboro” atau disebut dengan gotong royong oleh rakyat di bawah pimpinan Bumi Jero sebagai Kepala Bagian Pembangunan dan Pertukangan.

Sejak pemerintahan Raja Bima pertama Indra Zamrud sampai dengan pemerintahan Sultan Abdul Aziz, istana di bangun dengan bahan kayu jati alam yang berumur ratusan tahun. Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim istana di bangun secara semi permanen dan dibuat dari kayu jati alam, serambi depannya dibuat permanen. Pada masa Pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin di bangun istana permanen yang sekarang masih berdiri dengan megahnya.

Istana Bima adalah bangunan bergaya Eropa dan mulai dibangun pada tahun 1927. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Indonesia kelahiran Ambon, Obzichter Rehatta yang berada di Bima karena dibuang oleh penjajah Belanda karena merupakan seorang tokoh pergerakan. Ia dibantu oleh Bumi Jero dalam pembangunan istana yang berupa sebuah bangunan permanen berlantai dua yang memadukan arsitektur asli Bima dan Belanda. Bangunan itu kini telah beralih fungsi sebagai Museum Daerah.

Asi Mbojo, bangunan paling indah dan megah pada masa kesultanan, memiliki halaman seluas 500 meter persegi yang ditumbuhi pohon-pohon rindang dan taman bunga yang indah. Bangunan istana diapit oleh dua pintu gerbang timur dan barat yang senantiasa dijaga oleh anggota pasukan pengawal kesultanan. Pintu gerbang sebelah timur disebut “Lawa Kala” yang merupakan pintu masuk anggota sara hukum dan para ulama. Pintu gerbang sebelah barat disebut “Lare-Lare” yang merupakan pintu gerbang resmi kesultanan. Di belakang istana terdapat pintu gerbang yang disebut “Lawa Weki” yang merupakan tempat masuk para anggota keluarga istana.

Di depan Asi bagian barat terdapat beberapa meriam kuno, dan tiang bendera setinggi 50 meter yang terbuat dari kayu jati “Kasi Pahu” Tololai (sekarang terletak di Wera Barat). Tiang bendera tersebut dibangun oleh Sultan Abdullah untuk memperingati Hari Pembubaran Angkatan Laut Kesultanan. Sultan Abdullah terpaksa membubarkan angkatan lautnya karena tidak mau memenuhi keinginan penjajah Belanda yang memaksa angkatan laut kesultanan Bima untuk menyerang pejuang – pejuang Gowa – Makassar dan Bugis. Tiang Kasi Pahu sempat roboh karena lapuk. Tahun 2003 dibangun kembali atas inisiatif Hj. Putri Maryam. Bahannya bukan jati Tololai – karena jati disana tidak ada lagi – tapi merupakan kayu jati kelas satu di Wawo, Bima.

Setelah gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) meresmikan Asi Mbojo sebagai Museum Daerah, pada Agustus 1989, pembenahan – pembenahan terhadap museum dilakukan secara intensif. Dengan demikian status museum berada di bawah naungan pemerintah. Hal ini diperkuat setelah otonomi daerah. Museum tersebut menyimpan 320 jenis barang peninggalan kerajaan/kesultanan, misalnya mahkota bertahtakan intan dan permata dan sejumlah benda bernilai lain yang masih tersimpan di brankas Pemda Bima.

4. Asi Bou, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat
 
Asi Bou berarti Istana Baru. Tidak banyak informasi mengenai istana ini. Bangunan ini terkesan tertutup sehingga Asi Bou penuh misteri. Sebagian besar bangunan Asi Bou terbuat dari kayu. Itu sebabnya disebut sebagai Istana Kayu. Konstruksinya seperti lazimnya rumah panggung di Bima.

Asi Bou berdampingan dengan Istana Bima. Persisnya disebelah timur Istana Bima. Bangunan ini seperti mengawal bangunan di sebelahnya. Istana ini sebenarnya hanya tempat tinggal keluarga kerajaan dan tidak digunakan sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan.

Sesuai namanya, Asi Bou dibangun belakangan, pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1881 – 1961).  Sultan Ibrahim membangun Asi Bou untuk anaknya yang menjadi putra mahkota atau Raja Muda yakni Muhammad Salahuddin. Kelak, setelah Muhammad Salahuddin menjadi raja, dia memilih tinggal di Istana Lama. Asi Bou selanjutnya ditempati oleh adiknya, Haji Abdul Azis atau akrab dipanggil Ruma Haji. Dia menempati Asi Bou sampai akhir hayatnya. Selanjutnya, istri dan anak – anaknya, menempati rumah tersebut.

Asi Bou kini termasuk bangunan cagar budaya yang perlu dilestarikan. Hal ini tertuang dalam Monumenten Ordonantie Stbl. 238 Tahun 1931 pasal 1 ayat 1,a, juga UU Republik Indonesia No. 5 Tahun 1998.

5. Sonaf Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur
 
Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti Pulau Naga dalam bahasa lokal, sedangkan dalam bahasa Portugis :  Cabo de Flores yang sekarang disebut sebagai Pulau Flores, dan dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao yang disebut sebagai penghasil kayu cendana. Raja pertamanya bernama Lorenzo dan wilayah kekuasaannya mencapai Adonara (kerajaan yang terletak di pulau pegunungan berapi yang bernama pulau Adonara di Kepulauan Sunda Kecil dan berdiri sekitar tahun 1650).

Sejarah Larantuka sendiri, tidak lepas dari kedatangan bangsa Portugis dan Belanda, yang masing-masing membawa misi yang berbeda-beda pula. Bangsa Portugis membawa warna tersendiri bagi perkembangan sejarah agama Katolik di Flores Timur, yang meliputi Pulau Adonara, Solor dan juga Lembata yang telah berdiri sendiri menjadi sebuah daerah otonom baru.
Kala itu, konon, orang Portugis membawa seorang penduduk asli Larantuka bernama Resiona (menurut ceritra legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.
Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi yang disebut Conferia, mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.
Sekitar tahun 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari. Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.
Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.
Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda. Selama lima abad lebih, tradisi keagamaan tersebut tetap saja melekat dalam sanubari umat Katolik setempat.

6. Sonaf Ba’a, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur
 
“Nusa Lote, Nusa Fua Funi, Nusa Ndalu Sita”. Sebuah ungkapan kesayangan orang Rote yang hingga kini selalu didengungkan untuk menunjukkan kecintaan mereka terhadap tanah kelahiran atau tanah asal mereka. Kata “Nusa” berasal dari kata “Nusak”. Kata “Nusak” memiliki beberapa makna. Nusak bisa bermakna pulau, sehingga orang Rote menyebut pulau Rote sebagai Nusa Lote dan pulau Ndao sebagai Nusa Ndao. Nusak juga bisa berarti negeri atau negara.

Di Pulau Rote sendiri, kata Nusak merujuk pada wilayah kekuasaan independen yang disebut kerajaan. Dulu, di Rote terdapat 18 kerajaan shingga orang menyebut wilayah-wilayah itu sebagai Nusak, misalnya dari bagian timur Rote terdapat Nusa Rikou, Nusa Landu, Nusa Beluba, Nusa Diu, dan seterusnya hingga wilayah kerajaan di paling barat pulau Rote, yakni Nusa Dela.

Selain itu, kata “Nusak” juga merujuk pada daerah dimana raja menetap. Kita mendapati beberapa tempat yang dinamai Nusak Lain, seperti di Termanu dan Ba’a. Tapi juga karena daerah-daerah tersebut berada di tempat ketinggian, misalnya Fe’opopi di Termanu dan Nusaklain di Ba’a. Pemilihan wilayah ketinggian sebagai tempat tinggal raja karena alasan keamanan, sehingga tidak mudah mendapat serangan.

7. Sonaf Nisnoni, Kupang, Nusa Tenggara Timur
 
Di Pulau Timor, sudah berdiri Kerajaan Helong pada abad ke-16. Kerajaan ini didirikan oleh Lisin Bai Sili pada tahun 1516. Menurut catatan sejarah, Kerajaan Helong yang didirikan oleh Suku Helong ini berasal dari Pulau Seram, Maluku. Bangsa Suku Helong bermigrasi ke Pulau Timor, kemudian menetap di Desa Bunibaun dan mendirikan kerajaan di Kupang. Lalu suku-suku lain seperti Suku Rote, Suku Pita’i, Suku Taebenu, Suku Sonbai, dan Suku Am’abi mendatangi Kerajaan Helong dan tersebar di wilayah kekuasaan Raja Helong atau yang lebih dikenal dengan Raja Kupang ini.

8. Sonaf Baun, Kupang, Nusa Tenggara Timur
 
Baun, sebagai pusat pemerintahan Kec. Amarasi Barat, dahulunya merupakan Pusat Kerajaan Amarasi. Semua Raja-Raja Amarasi berasal dari Baun. Sampai saat ini, Istana Raja Amarasi masih berdiri kokoh.
Menurut sejarah yang ada, keturunan orang Amarasi berasal dari wilayah Wehali di  Belu-Atambua. Salah satu Putera Raja Wehali melakukan kesalahan dengan memecahkan mangkuk berharga milik keluarga  sehingga di usir dari kerajaannya. Sang putera raja bersama pengikut-pengikutnya melakukan perjalanan ke utara Wehali yaitu Biboki Insana, kemudian meneruskannya sampai ke wilayah Amarasi dan mendirikan Kerajaan Baru.

Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Raja-Raja (Kepala Swapraja) seluruh keresidenan Timor dalam Konferensi Malino tanggal 18 Juli 1946 mendukung penggabungan keresidenan Timor, Flores, Sumba dan daerah taklukannya dengan Bali, Lombok dan pulau-pulau selatan daya menjadi suatu daerah otonom dalam lingkup Pemerintahan Republik Indonesia, yang kemudian dikenal dengan wilayah Propinsi Sunda kecil.

Sebagai langkah lanjutan dari perjuangan untuk menentukan nasib diri sendiri dalam bidang pemerintahan, pada tanggal 21 Oktober 1946 Raja-Raja (Kepala Swapraja) seluruh keresidenan Timor mengadakan sidang di Kota Kefamenanu guna membentuk Timor Eiland Federatie (gabungan kerajaan afdelling Timor). Dalam sidang tersebut, H. A. Koroh (Raja Amarasi) dan A. Nisnoni (Raja Kupang) terpilih masing-masing sebagai ketua dan ketua muda Timor Eiland Federatie. Ini membuktikan bahwa Amarasi memainkan peranan penting dalam perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan RI. Tidak heran bahwa saat ini Raja H.A Koroh  di usulkan menjadi Pahlawan Nasional untuk menghargai jasa-jasanya.

9. Sonaf Sonbesi, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur
 
Kerajaan Amanuban (Banam) adalah sebuah kerajaan yang terletak di pulau Timor bagian barat, wilayah Indonesia. Di era kemerdekaan, Kerajaan Amanuban bersama Kerajaan Molo (Oenam) dan Kerajaan Amanatun (Onam) membentuk Kabupaten Timor Tengah Selatan (dalam bahasa Belanda disebut Zuid Midden Timor) di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan ibu kota SoE.

Kerajaan Amanuban (Banam) diawali dengan kehadiran Olak Mali leluhur Raja Nope dengan istrinya di Gunung Tunbes. Olak Mali mempunyai pengetahuan, kemampuan dan kekuatan untuk memengaruhi suku-suku yang berada di Tunbes seperti Nuban, Tenis, Asbanu, Nomnafa untuk mengakuinya sebagai penguasa. (Norholt,1971). Hal ini dibuktikannya kepada Nubatonis dengan beberapa bukti menanam pohon pisang, menanam tebu, api unggun, memanggil bumi.

Empat kelompok suku yang hidup bermasyarakat di Tunbes bersama para amaf lain kemudian mengukuhkan Olak Mali menjadi Raja Amanuban ( Banam ) sekaligus peristiwa ini merupakan cikal bakal terbentuknya Kerajaan Amanuban. Bukti fisik yang ada hingga saat ini menunjukan kehebatan Olak Mali sebagai Raja Amanuban pertama yang mampu menata kehidupan sosial, kemasyarakatan dan pemukiman masyarakat Tubes secara baik dan teratur. Posisi istana (sonaf) Raja Nope yang berada di tengah dengan pagar batu kokoh sebagai inti (core) yang kemudian dikelilingi dengan pemukiman kelompok suku-suku menunjukkan bahwa sonaf di Tunbes ini adalah kerajaan Amanuban itu sendiri.

10. Sonaf Oelolok, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur
 
Kerajaan Insana yang berpusat di daerah Oelolok pada masa kejayaannya dikenal dengan pemerintahan yang maju di bidang pendidikan karena prinsip dari Raja Taolin yang mengedepankan kemajuan bagi rakyatnya terutama di bidang pendidikan. Raja Taolin juga memiliki perhatian terhadap seni budaya terutama tarian dan seni pahat. Hal ini dibuktikan dengan beberapa tarian yang dimodifikasi baik gerakan maupun komponen pendukung tarian yang diberikan sentuhan baru oleh Raja. Sedangkan untuk seni pahat, Raja Taolin mempunyai kemampuan dalam mendesain pahatan. Hasil desain dari Raja Taolin ini masih dapat kita saksikan di panel-panel yang dipajang di dinding Istananya.

Rasa hormat masyarakat akan kebesaran Kerajaan dan Raja Taolin masih berbekas hingga sekarang, hal ini ditunjukan dengan masih setianya masyarakat atau rakyat untuk datang ke Istana baik untuk berkunjung atau menyelesaikan masalah di Lopo yang terletak disamping istana. Simbol kerajaan yang masih tersisa hingga kini adalah adanya simbol Hitu, Taboy, Saijo dan Banusu yang terletak empat bagian di halaman depan istana yang melambangkan 4 amaf (marga) yang berada dibawah pemerintahan Kerajaan Insana.

Makam Raja Taolin terletak tepat dibelakang Istana yang berada di Desa Oelolok Kabupaten Timur Tengah Utara. Terdapat juga makam orang tua Raja, istri dan beberapa anak Raja Taolin yang telah wafat. Saat ini Istana Raja Taolin ditempati dan juga dirawat oleh anak Raja Taolin yang pertama yaitu Th. L. Taolin.
Artikel ini diambil dari
https://springocean83.wordpress.com/2014/04/02/istana-istana-kerajaan-di-indonesia-yang-masih-ada-di-nusa-tenggara/
Follow My Instagram : brahmasujana 
like + subscribe youtube : https://www.youtube.com/channel/UCTl8PGi3IPV5hIg2PtqweoQ

Related Posts:

0 Response to "Istana – Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada di Nusa Tenggara"

Post a Comment