Hal-Hal Aneh DIDUnia 97
Woyy jangan berhenti di pulau Java donkk ayo nyebraang ke Pulau Seribu Pura cuss kuuuyyyyy :D :
1. Puri Agung Pacekan, Jembrana, Bali
Keraton sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama Puri Gede Jembrana dibangun pada awal abad XVII oleh I Gusti Made Yasa (penguasa Brangbang). Raja I yang memerintah di keraton (Puri) Gede Agung Jembrana adalah I Gusti Ngurah Jembrana. Selain keraton, diberikan pula rakyat pengikut (wadwa), busana kerajaan yang dilengkapi barang-barang pusaka berupa tombak dan tulup. Demikian pula keris pusaka yang diberi nama “Ki Tatas” untuk memperbesar kewibawaan kerajaan. Tercatat bahwa ada tiga orang raja yang berkuasa di pusat pemerintahan yaitu di Keraton (Puri) Agung Jembrana.
Sejak kekuasaan kerajaan dipegang oleh Raja Jembrana, I Gusti Gede Seloka, Keraton (Puri) baru sebagai pusat pemerintahan dibangun. Keraton (Puri) yang dibangun itu diberi nama Puri Agung Negeri pada awal abad XIX. Kemudian lebih dikenal dengan nama Puri Agung Negara. Patut diketahui bahwa raja-raja yang memerintah di Kerajaan Jembrana berikutnya pun memusatkan birokrasi pemerintahannya di Keraton (Puri) Agung Negara.
Patut dicatat pula bahwa ada dua periode birokrasi pemerintahan yang berpusat di Keraton (Puri) Agung Negara. Periode pertama ditandai oleh birokrasi pemerintahan kerajaan tradisional yang berlangsung sampai tahun 1855. Telah tercatat pada lembaran dokumen arsip pemerintahan Gubernemen bahwa kerajaan Jembrana yang otonom diduduki oleh Raja Jembrana V (Sri Padoeka Ratoe) I Goesti Poetoe Ngoerah Djembrana (1839 – 1855). Ketika berlangsung pemerintahannyalah telah ditandatangani piagam perjanjian persahabatan bilateral anatara pihak pemerintah kerajaan dengan pihak pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Gubernemen) pada tanggal 30 Juni 1849.
Periode kedua selanjutnya digantikan oleh birokrasi modern, melalui tata pemerintahan daerah (Regentschap) yang merupakan bagian dari wilayah administratif Keresidenan Banyuwangi. Pemerintahan daerah Regentschap yang dikepalai oleh seorang kepala pribumi (Regent) sebagai pejabat yang dimasukkan dalam struktur birokrasi Kolonial Modern Gubernemen yang berpusat di Batavia. Status pemerintahan daerah (Regentschap) berlangsung selama 26 tahun (1856 – 1882).
Pada masa pemerintahan Raja Jembrana VI, I Gusti Ngurah Made Pasekan (1855 – 1866), terjadi dua kali peralihan status yaitu 1855 – 1862 sebagai Raja Jembrana dan 1862 – 1866 sebagai status Regent (Bupati) dengan kedudukan kerajaan berada di Puri Pacekan Jembrana.
Kerajaan Djembrana berkembang sesuai eranya dan menjadi kabupaten Jembrana sebagai bagian integral propinsi Bali menurut Undang Undang nomor 64 tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958 tentang pemekaran propinsi Sunda Kecil / Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
2. Puri Agung Singaraja, Buleleng, Bali
The Royal Palace Singaraja yang sering disebut sebagai Puri Agung atau Puri Gede, dibangun oleh Raja pertama Kerajaan Den Bukit, Ki Gusti Anglurah Pandji Sakti pada 30 Maret 1604. Ki Gusti Anglurah Panji Sakti adalah putra dari Dalem Sagening, Raja Bali Dwipa yang beristana di Puri Gelgel, Klungkung.
Ki Barak, demikian nama kecil Panji Sakti (Barak ± Merah, karena dari ubun-ubunnya memancar cahaya merah cemerlang), dalam usianya yang sangat muda pergi mengikuti ibunya, Siluh Pasek ke Den Bukit dengan di kawal 40 pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Kadosat dan Ki Dumpyung. Dalem Sagening memberi putranya sebuah tulup bertombak Pangkaja Tatwaatau Kitunjung Tutur dan sebuah keris Anugrah Dewata yang dikenal sebagai keris pusaka Ki BarungSemang.
Setibanya di Den Bukit (sekarang Buleleng), Ki barak menetap di desa Panji. Ki Barak Muda pun tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan berani. Dengan berbekal keris pusaka Ki Baru Semang, ia akhirnya berhasil mempersatukan seluruh wilayah Den Bukit. Oleh rakyat Den Bukit, Ki Barak Panji didaulat menjadi Raja Den Bukit dan bergelar Ki Gusti Anglurah Panji Sakti.
Dalam masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai raja yang sakti mandraguna, bijaksana dan sangat dekat dengan rakyatnya. Kemudian dengan pasukan Taruna Goaknya yang gagah berani, ia melebarkan kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan Blambangan di Jawa Timur. Kesaktian Panji Sakti didengar oleh Raja Mataram di Jawa Tengah sehingga ia diundang ke keraton untuk menjalin persahabatan dan dianugrahi seekor gajah dan sejumlah pegawai.
Raja Ki Gusti Anglurah Panji Sakti Kemudian membangun istananya yang baru sekitar 5 km sebelah Tenggara desa Panji yang diberi nama Sukasada. Pada tanggal 30 Maret 1604, ia membangun purinya yang ketiga dan berlokasi di Tegalan Jagung Gembal sekitar 1,5 km Utara Sukasada yang diberi nama Singaraja. Puri Singaraja yang dikenal juga sebagai puri Buleleng dikembangkan oleh cucu beliau Ki Gusti Anglurah Panji Bali. Puri Singaraja merupakan cikal bakal kota yang kita kenal sekarang sebagai ibukota Kabupaten Buleleng.
Dalam catatan sejarah Buleleng, Puri Singaraja hancur pada zaman Rusak Buleleng manakala Belanda bertubi-tubi menghantamnya dengan meriam pada tahun 1846 yang berlanjut dengan perang Jagaraga(1847-1849). Perang besar yang melibatkan ribuan balantentara Buleleng yang dipimpin oleh panglima perang I Gusti Patih Djelantik yang bertempur mempertahankan setiap jengkal tanah Buleleng. Namun karena kalah dalam persenjataan, Buleleng akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Atas jasanya yang begitu besar, I Gusti Patih Djelantik dianugrahi gelar Pahlawan Nasional.
Tahun 1860 Pemerintah Kolonial Belanda menunjuk I Gusti Ngurah Ketut Djelantik generasi VIII dari dinasti Panji Sakti sebagai raja Buleleng. Puri Agung yang hancur itu pun dibangun kembali. Raja yang berusia muda dan berani ini pada akhirnya diasingkan Belanda ke Padang (Sumatra Barat) pada tahun 1873 karena mendukung perang Banjar yang memakan banyak korban di pihak Belanda.
Tahun 1929 I Gusti Putu Djelantik generasi X Panji Sakti diangkat menjadi regent Buleleng dan pada tahun 1938 dinobatkan sebagai Raja Buleleng dan bergelar Anak Agung. Anak Agung Putu Djelantik yang dikenal sebagai Pujangga Raja dan tokoh pembaharuan di Bali memugar puri buleleng pada tahun 1915 dan bersama dengan F.A. Liefrinck dan Dr. H.N. Van Der Tuuk, mengumpulkan lontar seBali-Lombok dan mendirikan perpustakaan lontar Gedong Kirtya. Anak Agung Putu Djelantik wafat pada tahun 1944 dan digantikan oleh putranya, Anak Agung Panji Tisna.
Anak Agung Panji Tiina yang yang dikenal sebagai Sastrawan Angakatan Pujangga Baru -1930 dengan karya Sastranya a.l : Ni Rawit Ceti, Penjual orang, I Swasta Setahun di Bedahulu, Ni SukrenI gadis Bali, I Made Widiade adalah pendiri perguruan Bhaktiyasa di Singaraja tahun 1948 dan kawasan Lovina pada tanggal 2 Juni 1978 dalam usia 70 tahun.
3. Puri Agung Tabanan, Tabanan, Bali
Puri Agung Tabanan adalah sebutan untuk tempat kediaman Raja Tabanan, yang merupakan salah satu puri di Bali. Keberadaan Puri Agung Tabanan berkaitan dengan tokoh Arya Kenceng, yang dipercaya ikut datang bersama Gajah Mada ketika Majapahit menaklukkan Kerajaan Bedulu di Bali pada tahun 1343.
Diceritakan setelah Bali berhasil ditaklukan, sebelum Patih Gajah Mada meninggalkan pulau Bali, semua Arya dikumpulkan, diberikan ceramah tentang pengaturan pemerintahan, ilmu kepemimpinan sampai pada ilmu politik. Tujuan utamanya ialah tetap mempersatukan pulau Bali dan dapat dipertahankan sebagai daerah kekuasaan Majapahit. Setelah semua dirasa cukup, semua Arya diberikan daerah kekuasaan yang menyebar di seluruh Bali. Sirarya Kenceng diberikan kekuasaan di daerah Tabanan dengan rakyat sebanyak 40.000 orang. Arya Kenceng memerintah Tabanan, dengan pusat kerajaan atau Puri Agung yang terletak di Pucangan (Buahan), Tabanan.
Raja Tabanan III, Sirarya Ngurah Langwang kemudian mendapat perintah dari Dalem Raja Bali agar memindahkan kerajaannya yang di Pucangan ke daerah selatan. Akhirnya Arya Ngurah Langwang mendapat pewisik, dimana ada asap (tabunan) mengepul agar disanalah membangun puri. Setelah melakukan pengamatan dari Kebon Tingguh, terlihat di daerah selatan asap mengepul ke atas. Kemudian beliau menuju ke tempat asap mengepul tersebut yang ternyata keluar dari sebuah sumur yang terletak di dalam area Pedukuhan yaitu Dukuh Sakti (di Pura Pusar Tasik Tabanan sekarang). Akhirnya ditetapkan di situlah beliau membangun Puri. Setelah selesai, dipindahlah secara resmi kerajaannya beserta Batur Kawitannya dari Pucangan ke Tabanan (sekitar Abad 14). Oleh karena asap terus mengepul dari sumur seperti tabunan, puri beliau diberi nama Puri Agung Tabunan, yang kemudian pengucapannya berubah menjadi Puri Agung Tabanan, sedangkan Kerajaannya disebut Puri Singasana dan Raja bergelar Sang Nateng Singasana.
4. Puri Agung Den Pasar, Denpasar, Bali
Keberadaan Puri Agung Denpasar terkait dengan keberadaan raja Kyayi Anglurah Jambe Ksatriya selaku penguasa terakhir Negeri Badung dari Dinasti Jambe (keturunan Jambe Merik). Setelah Dinasti Jambe runtuh lewat perang saudara, maka pemerintahan kerajaan Badung dilanjutkan oleh Kyayi Anglurah Made Pemecutan dari Puri Kaleran Kawan, dan selanjutnya pusat pemerintahan dipindahkan ke Puri Agung Denpasar.
Kehadiran Puri Kaleran Kawan, sejarahnya adalah dari Puri Pemecutan kuno, karena Kyayi Agung Gde Oka adalah putra dari I Gusti Ngurah Pemecutan Sakti – yang lebih terkenal dengan sebutan: Bhetara Sakti dari Puri Pemecutan kuno.
Adanya Puri Pemecutan sangat erat kaitannya dengan keberadaan Ki Gusti Ketut Bendesa yang menurunkan penguasa Bhandana Negara yang kini disebut Badung. Beliau ini adalah cucu dari Arya Kenceng selaku pendiri kerajaan Tabanan, sedangkan Arya Kenceng adalah keturunan dari Arya Damar yang kesohor itu pada jamannya.
Setelah Perang Puputan Badung 1906, karena sudah tidak memiliki rumah dan lokasi, Puri Agung Denpasar digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai kantor-kantor, maka seluruh keturunan Puri Agung Denpasar membangun rumah di sekeliling Pura Satriya. Pada saat awalnya, keturunan Puri Mataram juga turut menetap di sana; tetapi sekarang keturunan puri itu telah putung (tidak berlanjut).
5. Puri Agung Gianyar, Gianyar, Bali
Sejarah dua seperempat abad lebih, tempatnya 236 tahun yang lalu, 19 April 1771, ketika Gianyar dipilih menjadi nama sebuah keraton (Puri Agung) oleh Ida Dewa Manggis Sakti maka sebuah kerajaan yang berdaulat dan otonom telah lahir serta ikut pentas dalam percaturan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Bali. Sesungguhnya berfungsinya sebuah keraton, yaitu Puri Agung Gianyar yang telah ditentukan oleh syarat sekala niskala yang jatuh pada tanggal 19 April 1771 adalah tonggak sejarah yang telah dibangun oleh raja (Ida Anak Agung) Gianyar I, Ida Dewata Manggis Sakti.
6. Puri Agung Ubud, Ubud, Bali
Puri Agung Ubud Krisnakusuma terletak tepat di jantung kota Ubud. Merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Ubud pada zaman dahulu, serta sebagai pusat kegiatan seni budaya dan adat, yang diadakan di tepat di depan puri. Puri Ubud masih memiliki tata ruang dan bangunan yang dipertahankan seperti aslinya. Di halaman depan, setelah pintu gerbang, terdapat area yang disebut Ancak Saji. Di sini seminggu sekali diadakan pertunjukan seni tari bagi wisatawan dan setiap hari dilaksanakan latihan gamelan dari berbagai kelompok seni musik yang ada di Ubud. Semua aktivitas seni semakin mengentalkan suasana Ubud sebagai sebuah desa yang berwawasan kesenian.
7. Puri Agung Semarapura, Klungkung, Bali
Menurut sebuah sumber, Kori Agung Puri Semarapura ini dibuat oleh I Gusti Ibul dan I Gusti Ungu, yang hidup pada tahun 1839. Secara fisik, bentuk Kori Agung Puri Semarapura berwujud gelung (mahkota), dengan pintu induk di tengah dan dua pintu penunjang di kiri-kanan pintu induk. Uniknya, Kori Agung ini dilengkapi hiasan patung-patung mirip serdadu Belanda, yang diletakkan di depan gerbang seperti layaknya “patung penjaga”. Hiasan seperti patung serdadu Belanda juga terdapat di badan arsitektural candi.
Arah keluar Kori Agung Puri Semarapura nampaknya tidak lazim untuk di daerah Bali. sebab arah keluar Kori Agung ini menghadap ke arah gunung (utara). Menurut informasi, filosofi Kori Agung Puri Kerajaan Klungkung yang menghadap ke arah gunung (utara) ini dikaitkan dengan sejarah pertalian hubungan Kerajaan Klungkung dengan Kerajaan Majapahit. Berdasarkan filosofi ini, maka arah pintu gerbang Puri Semarapura ini dibuat mengikuti arah pintu gerbang Keraton Majapahit yang menghadap ke arah utara.
Dalam perjalanan sejarah kebudayaan di Bali, Kerajaan Klungkung merupakan kerajaan yang menduduki posisi tertinggi di antara kerajaan-kerajaan lain di Bali. Hal ini terkait dengan pertalian sejarahnya dengan Kerajaan Majapahit. Sedangkan kerajaan-kerajaan lain di Bali mulai berkembang ketika pusat pemerintahan kerajaan di Bali ada di Gelgel, ketika Dalem Sagening memegang kendali pemerintahan pada 1502.
Keberadaan Kerajaan Klungkung merupakan rangkaian dari sejarah berhasilnya Majapahit mengalahkan Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten pada 1343, pada masa Bali kuna. Sejak itulah Bali otomatis berada di bawah kekuasaan Majapahit. Setelah Sri Kresna Kepakisan ditunjuk menjadi Adipati di Bali pada 1352, maka mulailah trah Ksatria Dalem menduduki posisi penting di Bali yang berpusat di Samprangan Gianyar (Lingarsapura).
Dalam perkembangannya kemudian, di masa pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir (1380-1460), pusat kerajaan dipindahkan ke Gelgel (Swecapura). Tetapi ketika Bali mengalami zaman keemasan di masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang bertahta di Gelgel (1460-1490), justru Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada 1478 Masehi. Ketika Kerajaan Majapahit sudah dianggap runtuh, Kerajaan Gelgel menyatakan diri sebagai pelanjut kebesaran Majapahit di Bali.
Tetapi trah ksatria Dalem di Kerajaan Gelgel harus berakhir. Setelah terjadi pemberontakan Patih Agung Maruti pada 1650, pusat pemerintahan Kerajaan Gelgel akhirnya dipindahkan ke Klungkung, karena kewibawaan Gelgel sudah dianggap tercemar. Raja pertama Kerajaan Klungkung adalah I Dewa Agung Jambe yang dinobatkan pada 1710.
Setelah pemerintahan kolonial Belanda masuk ke Bali, dinasti Ksatria Dalem di Kerajaan Klungkung akhirnya harus berakhir pada 28 April 1908 dalam peristiwa Puputan Klungkung. Yang tersisa hanya gerbang puri. Berbeda dengan Majapahit, bata-bata bekas bangunan peninggalan Majapahit justru dirusak, dicari dan dihancurkan penduduk untuk dijadikan bahan semen merah, lalu dijual.
8. Puri Agung Susut, Bangli, Bali
Puri Agung Susut terletak di desa Susut, Bangli serta masih merupakan keturunan Ksatria Taman Bali dan keturunan Kawitan Maha Gotra Titra Harum.
9. Puri Agung Amlapura, Karangasem, Bali
Puri Agung Karangasem didirikan sekitar akhir abad ke-19 oleh Anak Agung Gede Djelantik yaitu raja Karangasem yang pertama. Daya tarik utama dari puri agung ini adalah arsitektur bangunannya yang memiliki perpaduan antara arsitektur Bali, China, dan Eropa. Arsitektur Bali dapat dilihat pada ukiran candi, patung dan relief wayang yang terdapat pada dinding bangunan. Sedangkan pengaruh Eropa terlihat dari bentuk bangunan induk dan beranda yang sangat luas dengan nama Maskerdam. Dan arsitektur China terletak pada motif ukiran yang terdapat pada pintu, jendela dan ornamen-ornamen bangunannya. Bahkan, di halaman puri agung ini terdapat pohon leci yang umurnya sudah sangat tua.
Selain perpaduan beberapa arsitektur bangunannya, daya tarik yang khas dari Puri Agung Karangasem juga terletak pada candi-candinya yang menjulang tinggi yang mencapai ketinggian kira-kira 25 meter yang terbuat dari batu bata dan dihiasi cetakan yang bermotif wayang. Di depan candi terdapat sepasang patung singa dan sepasang patung penjaga pintu serta sepasang pos penjagaan.
Puri Agung Karangasem memiliki luas areal yang mencapai 20.000 m² dan dikelilingi oleh tembok yang tinggi dan tebal. Di lingkungan puri agung ini terdapat 2 puri lainnya yaitu Puri Gede dan Puri Kerta Sura yang letaknya di sebelah barat. Puri Agung Karangasem terdiri dari 3 bagian yaitu halaman pertama bernama Bencingah, halaman kedua bernama Jaba Tengah, dan halaman paling dalam adalah bangunan utama yaitu Maskerdam.
Pemberian nama Maskerdam tersebut ada kaitannya dengan nama kota Amsterdam di Belanda. Sebab, pada saat pembangunan gedung tersebut, sedang dijalin hubungan baik antara raja Karangasem dengan Kerajaan Belanda. Bangunan induk ini digunakan sebagai istana raja. Sedangkan bangunan yang berada di belakang Maskerdam disebut London, berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga raja. Pemberian nama itu dikarenakan kota London di Inggris bertetangga dengan kota Amsterdam di Belanda. Di depan istana Maskerdam terdapat sebuah bangunan bernama Bale Pemandesan, yang fungsinya untuk tempat upacara potong gigi atau juga tempat menyimpan sementara jenasah para keluarga Puri yang meninggal sampai upacara pelebon dilaksanakan. Di dekat bangunan ini yang menghadap ke kolam terdapat patung singa bersayap yang besar.
Di depan Bale Pemandesan terdapat Bale Pewedaan atau Bale Lunjuk, yang berfungsi tempat para pendeta memuja bila ada upacara keagamaan. Di depan komplek Maskerdam terdapat Bale Kambang atau Gili yang berada ditengah-tengah kolam air, yang fungsinya untuk tempat rapat keluarga besar Puri. Di sebelah selatan kolam terdapat bangunan tua bernama Bale Werdastana yang pembangunannya dilaksanakan oleh orang-orang China. Bangunan ini seluruhnya menggunakan arsitektur dan motif China. Sayangnya bangunan Bale Werdastana ini telah hancur karena usia tua dan karena akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1979.
Puri Agung Karangasem sekarang ini dikelola oleh suatu yayasan Amertha Jiwa yang dibentuk oleh keluarga besar Puri dan seluruh pengurus yayasannya juga dari kalangan keluarga Puri.
Artikel ini diambil dari
https://springocean83.wordpress.com/2014/04/01/istana-istana-kerajaan-di-indonesia-yang-masih-ada-di-pulau-dewata/
Follow My Instagram : brahmasujana
like + subscribe youtube : https://www.youtube.com/channel/UCTl8PGi3IPV5hIg2PtqweoQ
0 Response to "Istana – Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada di Pulau Dewata"
Post a Comment