10 Istana/kastil Termegah dan Terindah DI DUnia

Hal-Hal Aneh DIDUnia 97 


Istana Buckingham a.k.a Buckingham Palace banyak dibilang orang sebagai ‘Istana Termahal di Dunia’. Mungkin bisa jadi itu karena letaknya yang berada di pusat kota London, sebagai ibukota negara Inggris. 


Karena memang, harga properti di sebuah kota besar jauh lebih mahal dan bergengsi ketimbang di daerah pinggiran kota.
Tapi ternyata, untuk urusan kemegahan dan keindahan. Buckingham Palace tidak ditunjuk orang maupun media sebagai nomor satu.



Karena banyak istana atau kastil yang lebih kecil, dan letaknya justru tidak strategis, bahkan di pinggiran kota hingga kawasan terpencil maupun di puncak gunung. Punya keindahan yang luar biasa dan tak kalah megah ketimbang Buckingham Palace.



Akan tetapi, soal keindahan dan kemegahan, biasanya diukur dari desain istana/kastilnya, plus juga selera dari orang yang melihat. 
Berikut 10 istana/kastil termegah dan terindah di dunia yang tentunya patut Anda kunjungi, seandainya Anda berkunjung ke negara tempat istana tersebut berada.


1. Mont Saint Michel Prancis (10mosttoday.com) foto 2
1. Mont Saint Michel, Prancis

Mont Saint Michel adalah sebuah pulau pasang surut berbatu yang terletak di Normandia, sekitar 1 km dari pantai. Titik tertinggi pulau sekitar 92 meter (301 kaki) di atas permukaan laut. Situs Warisan Dunia UNESCO dikunjungi lebih dari 3 juta orang setiap tahunnya.
2. Neuschwanstein Castle Jerman (10mosttoday.com)


2. Neuschwanstein Castle, Jerman
Terletak di sebuah bukit terjal, di barat daya Bavaria, saat ini kastil ini merupakan salah satu tempat wisata paling populer di Jerman. Konstruksi dimulai pada tahun 1896, dirancang oleh Christian Jank, untuk Ludwig II dari Bavaria yang dinyatakan gila sebelum kastil ini selesai. Hal ini menjelaskan banyak hal. Arsitektur, lokasi dan ukuran dari kastil Neuschwanstein memang spektakuler, dan agak gila. 



Setelah kematian Ludwig II of Bavaria pada 1886, istana ini dibuka untuk umum (berbayar). Semenjak itu istana ini telah menerima lebih dari 60 juta pengunjung dan lebih dari 1,3 juta orang mengunjungi istana ini per tahun.
3. Hohensalzburg Castle Austria (10mosttoday.com)


3. Hohensalzburg Castle, Austria
Ini adalah salah satu kastil tertua dan paling indah dari Eropa. Kastil ini awalnya terletak di Austria dan dibangun pada abad ke-11, diikuti oleh rekonstruksi di abad ke-14. Ini terletak di sebuah gunung di Salzburg, dan memiliki panjang 250 meter (820 kaki) dengan lebar 150 meter (490 kaki).
4. Conwy Castle Wales Britania Raya (10mosttoday.com)


4. Conwy Castle, Wales, Britania Raya
Conwy adalah salah satu kastil yang paling menonjol yang dibangun oleh Edward I pada abad ke-13. Pembuatan kastil itu memakan biaya yang cukup mahal - diperkirakan bahwa Edward menghabiskan £ 15.000 untuk pembangunannya, yang menjadikannya sebagai kastil paling mahal dalam sejarah Wales. Conwy Hari ini dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia dan delapan menara, menghadap ke muara Conwy, adalah gambar ikon Wales Utara.  
5. Kilkenny Castle Irlandia (10mosttoday.com)


5. Kilkenny Castle, Irlandia
Ini adalah istana dari Irlandia yang indah. Dibangun pada abad ke-11. Dikhususkan untuk membangun sebuah benteng luar biasa oleh Marsekal William. Istana ini digunakan untuk mengontrol serangan dari Sungai Nore dan beberapa jalur darat dan ini adalah mengapa benteng ini dibangun pada waktu itu. Hari ini, telah, menjadi keindahan daya tarik bangunan dari Irlandia.
6. Prague Castle Praha Republik Ceko (10mosttoday.com)


6. Prague Castle, Praha, Republik Ceko
Kastil ini adalah salah satu kastil terbesar dan tertua di dunia. Kastil ini memiliki tinggi sekitar 570 meter dan lebar 130 meter , dengan desain yang mewakili gaya arsitektur dari milenium lalu, dari Gothic ke gaya Romawi dan Baroque. Bangunan-bangunan pertama dari kompleks ini muncul pada abad 9. 
7. Bodiam Castle Inggris (10mosttoday.com)


7. Bodiam Castle, Inggris
Bodiam Castle dalah istana abad ke-14 di East Sussex, Inggris. Istana ini dibangun oleh Sir Edward Dalyngrigge pada tahun 1385.
8. Windsor Castle Inggris (10mosttoday.com)


8. Windsor Castle, Inggris
Windsor Castle of England yang indah dan telah menjadi area penduduk kerajaan kuno jenis Windsor di county Inggris Berkshire. Kastil ini cukup lama karena telah berhubungan dengan keluarga kerajaan Inggris, dan memiliki arsitekturnya yang indah.
9. Miranda Castle Belgia (10mosttoday.com)


9. Miranda Castle, Belgia
Miranda Castle juga dikenal dengan sebutan Noisy Castle. Istana ini dibangun pada abad ke-19, tepatnya tahun 1866, di wilayah Ardennes, Belgia. Kalau Anda ingat Perang Dunia II dan Kejuaraan Dunia Balap Formula 1, pasti ingat kawasan Ardennes. Karena salah satu pertempuran epik PD II antara Sekutu dan Jerman terjadi di Hutan Ardennes. Sedang salah satu sirkuit legendaris F1 juga ada kawasan hutan itu, yakni Spa Francorchamps.
10. Alcazar of Segovia Spanyol (medievalarchives.com)


10. Alcazar of Segovia, Spanyol
Spanyol penuh pesona menakjubkan berbagai tempat wisata, Alcazar Segovia adalah salah satu dari mereka. Ini adalah sebuah istana batu, terletak di kota tua Segovia, dibangun pada abad ke-12 dan awalnya sebagai benteng, hingga sempat digunakan sebagai akademi militer serta penjara negara. Ini berbentuk seperti haluan kapal-kapal kuno dan hadir di bukit berbatu. Itu indah dan telah menjadi inspirasi dari Walt Disney Cinderella Castle.


Artikel ini diambil dari 
http://lifestyle.sindonews.com/read/1082473/156/10-istana-kastil-terindah-di-dunia-yang-wajib-dikunjungi-1454489399

Follow My Instagram : brahmasujana like + subscribe youtube : https://www.youtube.com/channel/UCTl8PGi3IPV5hIg2PtqweoQ

Related Posts:

Istana – Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada di Kepulauan Maluku

Hal-Hal Aneh DIDUnia 97 

Sampailah kita di tujuan akhirrrrr yaitu Maluku dkk :p yeya cusssss :

1. Istana Ternate, Kota Ternate, Maluku
 
Istana Kesultanan Ternate terletak di dataran pantai di Kampung Soa-Sio, Kelurahan Letter C, Kodya Ternate, Provinsi Maluku Utara. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur nusantara sejak abad XIII hingga abad XVII. Di masa keemasannya, yakni pada abad XVI, kekuasaan kesultanan membentang mulai dari seluruh wilayah di Maluku, Sulawesi Utara, kepulauan-kepulauan di Filipina selatan, hingga kepulauan Marshall di Pasifik.

Bahkan Sultan Baabullah yang memimpin Ternate mencapai puncak kejayaan dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu.

Pada tanggal 7 Desember 1976, Istana Kesultanan Ternate dimasukkan sebagai benda cagar budaya. Para ahli waris Kesultanan Ternate dipimpin oleh Sultan Muda Mudzafar Syah, menyerahkan istana kesultanan ini kepada Pemerintah Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk dipugar, dipelihara dan dilestarikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Istana ini dipagari oleh dinding berketinggian lebih dari 3 meter, yang menyerupai benteng. Di lingkungan istana ini juga terdapat komplek pemukiman raja dan keluarganya, dan komplek makam para pendahulu kesultanan. Istana bergaya Eropa yang menghadap ke arah laut ini, berada dalam satu komplek dengan mesjid kesultanan yang didirikan oleh Sultan Hamzah, Sultan Ternate ke-9.

Desain interior istana penuh dengan hiasan emas. Di ruang kamar bagian dalam terdapat peninggalan pakaian dari sulaman benang emas yang mewah, perhiasan-perhiasan dari emas dan kalung raksasa dari emas murni, mahkota, kelad bahu, kelad lengan, giwang, anting-anting, cincin, dan gelang yang hampir kesemuanya terbuat dari emas. Hal ini merupakan indikator bahwa Kesultanan Ternate pernah mengalami masa kejayaan.

Di samping itu, istana megah ini juga menyimpan, merawat dan memamerkan benda-benda pusaka milik kesultanan, seperti senjata (senapan, meriam kecil, peluru-peluru bulat, tombak, parang dan perisai), pakaian besi, pakaian kerajaan, topi-topi perang, alat-alat rumah tangga, dan naskah-naskah kuno (Al-Quran, maklumat, dan surat-surat perjanjian).

2. Istana Tidore, Kota Tidore, Maluku
 
Tidore adalah nama sebuah pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Halmahera dan di sebelah selatan Pulau Ternate. Raja atau kolano pertama yang menggunakan gelar Sultan di Tidore adalah Caliati atau Jamaluddin yang memerintah pada tahun 1495 hingga 1512. Sebelumnya tidak terdapat catatan sejarah siapa kolano yang berkuasa sebelum Caliati. Namun sejarawan Belanda F.S.A. de Clerq mencatat pada tahun 1334 Tidore dipimpin oleh seseorang yang bernama Hasan Syah. Dari nama kolano dan gelar sultan yang digunakan di wilayah Tidore nampaknya pengaruh Islam telah tersebar disana secara luas.

Kesultanan Tidore merupakan satu dari empat kerajaan besar yang berada di Maluku, tiga lainnya adalah Ternate, Jaijolo dan Bacan. Namun hanya Tidore dan Ternate-lah yang memiliki ketahanan politik, ekonomi dan militer. Keduanya pun bersifat ekspansionis, Ternate menguasai wilayah barat Maluku sedangkan Tidore mengarah ke timur dimana wilayahnya meliputi Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Maba, Patani, Seram Timur, Rarakit, Werinamatu, Ulisiwa, Kepulauan Raja Empat, Papua daratan dan sekitarnya.

Sultan kedua Tidore adalah Almansur yang naik takhta pada tahun 1512 yang kemudian menetapkan Mareku sebagai pusat pemerintahan. Ia adalah Sultan yang menerima kedatangan Spanyol di Tidore untuk beraliansi secara strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun oleh Ternate dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 8 November 1521. Turut serta dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta, seorang etnolog dan sejarawan Italia.

Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan Ternate dan Portugis yang berjumlah 600 orang menyerbu Tidore dan berhasil masuk ke ibukota Mareku. Hal yang menarik adalah, meskipun serangan gabungan tersebut mencapai ibukota Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore sepenuhnya dan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Kegagalan serangan tersebut berujung dilakukannya perjanjian Zaragosa antara Raja Portugis, John III dan Raja Spanyol, Charles V pada tahun 1529. Dengan imbalan sebesar 350.000 ducats, Charles V bersedia melepaskan klaimnya atas Maluku, namun demikian hal tersebut tidak serta merta menyebabkan seluruh armada Spanyol keluar dari Maluku.

Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao, memutuskan untuk kembali meyerang Tidore. Pasukan Portugis mendapatkan kemenangan atas Tidore pada tanggal 21 Desember 1536 dan mengakibatkan Tidore harus menjual seluruh rempah-rempahnya kepada Portugis dengan imbalan Portugis akan meninggalkan Tidore.

Kejadian penting lainnya yang patut dicatat adalah terjadinya unifikasi kekuatan Portugis dan Spanyol di Maluku di bawah pimpinan Raja Spanyol pada tahun 1580. Sehingga demikian semua benteng Portugis dan Spanyol di seluruh kepulauan Maluku dapat digunakan oleh kedua belah pihak. Unifikasi ini sebenarnya didahului oleh kejadian sebelumnya, yaitu penaklukan benteng Portugis-Gamlamo di Ternate oleh Sultan Babullah, Sultan Ternate terbesar, pada tanggal 26 Desember 1575. Menyerahnya Gubernur Portugis terakhir di Maluku, Nuno Pareira de Lacerda, menunjukkan berakhirnya kekuasaan Portugis di Nusantara. Hal ini mengakibatkan mau tidak mau armada perang Portugis membentuk persekutuan dengan Spanyol di kepulauan Maluku.

Pada tanggal 26 Maret 1606, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Don Pedro da Cunha, mulai membaca gerak-gerik VOC-Belanda memperluas wilayah dagangnya hingga Maluku. Karena merasa terancam dengan kehadiran armada dagang VOC-Belanda yang mulai menjalin kerjasama dengan Kesultanan Ternate, ia memimpin pasukan menggempur Benteng Gamlamo tentu saja dengan bantuan dari Tidore yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Mole Majimu.

Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak lama setelah itu VOC Belanda berhasil pula membuat benteng yang kemudian disebut sebagai “Fort Oranje” pada tahun 1607 di sebelah timur laut Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi militer dengan Spanyol.

Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663 sehingga berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku. Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu.

Namun demikian lambat laun situasi mulai berubah ketika Tidore memiliki Sultan yang terbesar sepanjang sejarah mereka yaitu Sultan Nuku. Pada tahun 1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan bahwa kesultanan-nya sebagai wilayah yang merdeka lepas dari kekuasaan VOC-Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkan olehnya meliputi semua wilayah Tidore yang utuh yaitu : Halmahera Tengah dan Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat, Papua Daratan, Seram Timur, Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut, Kepulauan Garang, Watubela dan Tor.

Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku. Pada titik ini, kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan Sultan Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.

3. Istana Bacan, Halmahera Selatan, Halmahera
 
Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua Barat. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool yang terletak di Raja Ampat dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.

Pengaruh bangsa Eropa pertama di Pulau Bacan diawali oleh Portugis yang kemudian membangun benteng pada tahun 1558. Bernevald Fort adalah benteng Portugis yang masih utuh berdiri di Pulau Bacan sampai sekarang. Pada tahun 1609 benteng ini diambil alih oleh VOC yang menandai awal penguasaan Hindia Belanda di Pulau Bacan. Pada tahun 1889 sistem monarki Kesultanan Bacan diganti dengan sistem kepemerintahan di bawah kontrol Hindia Belanda.

Pulau Bacan tidak hanya mempunyai peran dalam produksi cengkeh dan pala pada masa itu, akan tetapi juga menjadi pusat kontrol atas produksi dan distribusi cengkeh dan  pala di Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Halmahera.
Yah kita telah berhasil mengelilingi Indonesia mari beristirahat :p
Artikel ini diambil dari
https://springocean83.wordpress.com/2014/04/02/istana-istana-kerajaan-di-indonesia-yang-masih-ada-di-kepulauan-maluku/
Follow My Instagram : brahmasujana 
like + subscribe youtube : https://www.youtube.com/channel/UCTl8PGi3IPV5hIg2PtqweoQ

Related Posts:

Istana – Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada di Pulau Sulawesi

Hal-Hal Aneh DIDUnia 97 

Terbang ke tetangga yaitu Sulawesi syalalalalal :p :

1. Istana Mori, Morowali, Sulawesi Tengah
 
Istana Raja Mori terletak di atas bukit kurang lebih 25 m dari permukaan laut dengan luas lokasi 960 m2. Istana ini terdiri dari bangunan induk dan anak  bangunan dibangun diatas pendasi beton ukuran tinggi maksimum 1,17 m dan minimum 1,08 m dari muka tanah.Secara administrasi rumah bekas Istana Raja Mori ini terletak di desa Kolonedale Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah.
Dari kajian-kajian yang bersumber  dari peninggalan leluhur yang didukung dengan kepustakaan yang ada, diketahui bahwa Kerajaan Wita Mori adalah kerajaan persemakmuran yang terdiri dari gabungan Kerajaan-Kerajaan/Wilayah Otonom yang mempunyai pimpinan sendiri-sendiri. Walaupun demikian, bahasa, adat istiadat serta silsilah Raja-Raja/Pemimpin yang pernah menduduki jabatan dapatlah diketahui bahwa mereka berasal dari satu keturunan ratusan tahun yang silam. Ikatan kekeluargaan ini yang merupakan pengikat solidaritas yang mendorong lahirnya kerajaan persemakmuran untuk membangun secara bersama-sama kesejahteraan dan pertahanan secara terpadu dalam menghadapi perang antar suku (Mengayau) dan menghalau ekspansi Kolonial Belanda yang mulai mencampuri urusan perdagangan di Teluk Tomori (Peristiwa Towi, 1948).

Dari beberapa kajian pula, baik yang berbau mitologi maupun cerita-cerita rakyat (folk tale), kisah Sawerigading yang turun temurun di kalangan tua-tua Wita Mori, dapatlah dikatakan bahwa Kerajaan Wita Mori merupakan pengembangan dari Kerajaan Luwu. Hal ini dipertegas lagi dengan adanya Upeti yang harus dikirimkan setiap tahun kepada Datu Luwu dari beberapa kerajaan Sulawesi Tengah bagian timur, antara lain Kerajaan Bungku, Mori dan Banggai. Saat itu, Kerajaan Wita Mori dipimpin oleh seorang Ratu bernama Wedange yang dibantu oleh Karua/Tadulako bernama Kello dan berkedudukan di Wawontuko (Puncak Tongkat). Pada waktu itu Raja Mori Wedange tidak mau menghadiri panggilan Datu Luwu untuk bertemu di  Uluanso sehubungan dengan keterlambatan pembayaran upeti dan hanya menyampaikan pesan lewat Karua Kello bahwa “saya lebih baik memilih mati”. Sejak saat itu, Kerajaan Luwu mulai menyerang Kerajaan Mori yang dalam pertempuran sengit berhasil menaklukkan serta menawan Raja Wedange dan keluarganya serta Karua Kello di Palopo.

Sejak saat itu Kerajaan Wita Mori mengalami kekosongan Pemimpin dalam menghadapi serangan Pengayau sampai dengan tampilnya seorang tokoh legendaris, seorang Tadulako dengan gelar Tandu Rumba-Rumba bernama Rorahako. Rorahako mengumpulkan para Tadulako dari setiap anak suku di Wita Mori untuk menghadap Datu Luwu dan memohon agar Raja Wedange dibebaskan agar dapat kembali memimpin Kerajaan Wita Mori. Permohonan itu direstui oleh Datu Luwu.  Namun, Wedange yang pada saat itu telah lanjut usia menunjuk anaknya Pangeran Anamba untuk menjadi Raja dengan syarat Kerajaan Wita Mori tidak lagi berkedudukan di Wawontuko, akan tetapi di suatu tempat yang lebih jauh ke pedalaman yaitu satu tempat yang bernama Pa’antoule (Petasia).

Walaupun hanya kerajaan kecil namun tercatat pula sejarah yang mengisahkan tentang peperangan kerajaan ini melawan Kolonial Belanda. Perang melawan pemerintah Hindia Belanda pertama kali terjadi  pada tahun 1856 yang dikenal dengan Perang Mori Pertama (Perang Ensaondau) yang dipimpin oleh Raja Tosaleko yang pada saat itu telah mulai dapat menghimpun kekuatan setelah beberapa kali melakukan pembenahan dari struktur pemerintahan sebelumnya yang dianggap kurang memuaskan dalam mengurus kegiatan pemerintahan serta pertahanan keamanan kerajaan. Dalam perang Ensaondau tersebut, Belanda berhasil merebut dan mengibarkan benderanya di Benteng Ensaondau. Pasukan Belanda berhasil menduduki Tompira dan Benteng Ensaondau, membakar permukiman di Patongoa dan Wawontuko. Namun, ekspedisi pasukan Belanda ini dianggap kurang memuaskan karena telah banyak menelan korban dari pasukan militer serta mengeluarkan anggaran yang sangat besar, dan nyatanya Kerajaan Mori tetap berjaya menjadi satu kerajaan merdeka dan berdaulat penuh.

Perang besar lainnya, yaitu Perang Mori Kedua (Perang Wulanderi) yang dipimpin oleh Raja Marunduh (Datu ri Tana) pada bulan Agustus 1907. Perang ini berakhir dengan kematian Raja Marunduh Datu ri Tana setelah mendapat serangan dari pasukan Marsose di Benteng Wulanderi. Kematian Raja Mori ini menimbulkan duka yang teramat dalam bagi rakyat Mori. Hal ini menjadi titik terlemah bagi perjuangan rakyat Mori dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya. Rakyat Mori dirundung duka dan berkabung sehingga sangat sulit untuk kembali membangkitkan semangat untuk meneruskan perlawanan. Pada akhirnya atas kesepakatan bersama para Mokole dan Tadulako, seluruh daerah pertahanan mengibarkan bendera putih sebagai tanda pernyataan menyerah. Dengan demikian pasukan ekspedisi Belanda menyataka bahwa seluruh wilayah Kerajaan Mori telah berhasil ditaklukkan dan dikuasai pada 20 Agustus 1907.

Berdasarkan rekomendasi Bupati Poso Nomor 012/0152/DP tanggal 27 Mei 1997 tentang pemberian wewenang sepenuhnya Situs Istana Raja Mori kepada DEPDIKBUD. Surat pernyataan putera ahli waris Awolu Marunduh dengan ikhlas menyerahkan Istana Raja Mori ke Pemda Poso tanggal 5 September 1997.
2. Istana Banggai, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah
 
Kerajaan Banggai klasik telah ada dan dikenal sekitar abad ke 13 M dengan nama Benggawi, di era kejayaan Kerajaan Mojopahit dibawah pimpinan Prabu Hayam Wuruk (1351-1389), dimana kerajaan Banggai saat itu telah menjadi bagian dari kerajaan Mojopahit, sebagaimana disebut pada seuntai syair dalam buku Nagara kertagama karya Mpu Prapanca. Dalam struktur Kerajaan Banggai klasik menurut Dr.Alb.C.Kruyt dalam studinya De Vorsten van Banggai, Kerajaan Banggai kala itu dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Adi yang tinggal di Linggabutun yang terletak digunung Bolukan (sekarang Padang Laya) dan empat orang yang merupakan suatu dewan penasehat bagi Adi dan diberi gelar Tomundo Sangkap yang masing-masing mempunyai kekuasaan tertentu.Mereka inilah sejatinya pendiri Kerajaan Banggai. Secara berturut-turut disebut empat orang Adi yang memerintah sebelum Adi Lambal Polambal memerintah. Adi Lambal Polambal menjadi raja terakhir fase Kerajaan Banggai klasik. Selama ia memerintah sering terjadi perselisihan antar saudara di antara empat raja kecil (tomundo Sangkap) yang merupakan dewan penasehat bagi Adi, yang sukar untuk didamaikan oleh Adi Lambal Polambal.

Pada masa pemerintahan Adi Lambal Polambal inilah muncul seorang bangsawan dari tanah Jawa yang merupakan panglima perang Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate bernama Adi Cokro alias Adi Soko. Adi Cokro kemudian hadir sebagai sosok pembawa kedamaian atas gejolak internal Kerajaan Banggai, sehingga karena kebijaksanaannya, Adi Lambal dan keempat tomundo tersebut menawarkan pemerintahan kepadanya. Karena identitasnya sebagai sebagai seorang panglima perang Kesultanan Ternate inilah yang kemudian melegitimasi  kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukan Kesultanan Ternate, meskipun Adi Cokro hadir tidak dengan cara konfrontasi militer melainkan menjalankan misi penyebaran agama islam. Adi Cokro kemudian naik tahta menjadi raja Banggai dengan gelar Mbumbu, sejak itulah gelar adi menghilang digantikan dengan mbumbu.

Masa Adi Cokro memimpin disinalah menjadi fase awal peradaban Kerajaan Banggai moderen, ia kemudian dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai moderen  setelah beliau sukses memperluas wilayah Kerajaan Banggai (klasik) yang sebelumnya hanya meliputi wilayah Pulau Banggai saja menjadi kerajaan utama (primus inter pares) dari beberapa kerajaan yang ada dengan menundukan kerajaan – kerajaan di Pulau Peling seperti Kerajaan Tokolong (Buko), Lipu Babasal (Bulagi), Sisipan, Liputomundo, Kadupang dan Kerajaan Bongganan, hingga sampai ke jazirah timur daratan Sulawesi dengan menaklukan Kerajaan Tompotika, Bola, Lowa, dan Kerajaan Gori-gori yang kemudian disebut wilayah Banggai darat (sekarang Kab.Banggai). Ia kemudian mengatur pemerintahan atas daerah-daerah kekuasaannya serta membawa masuk agama islam di seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Banggai. Pulau Banggai tetap dijadikan pusat pemerintahannya, sementara itu Adi yang terakhir yaitu Adi Lambal Polambal diangkat kembali sebagai pelaksana pemerintahannya dengan memberi kepadanya jabatan Jogugu, sedangkan dewan penasehat, yaitu keempat raja (tomundo) kecil juga mendapat gelar kehormatan Pau Basal / Basalo yang lebih rendah dari tomundo.

Sebutan Pau Basal yang dalam bahasa berarti “anak besar” dianggap sebagai satu gelar kehormatan, karena membentuk suatu hubungan antara bapak-anak antara Mbumbu dengan keempat Pau Basal itu, daerah kekuasaan mereka ditentukan kembali dari gunung Bolukan dimana sang raja membangun sebuah istana untuk salah seorang istrinya. Tetapi dalam pembagian daerah itu diatur sedemikian rupa sama seperti para bapak leluhurnya, yakni para Tomundo. Keempat Pau Basal sangat dihormati oleh Mbumbu dan para penerusnya, mereka merupakan suatu dewan penasehat, yang pengaruhnya sama luasnya dengan kekuasaan Mbumbu.

Karena suatu hal, Adi Cokro kembali ke tanah Jawa, akibatnya kerajaan Banggai mulai mengalami kekacauan dan kevakuman pemerintahan yang cukup panjang. Dalam desertase Banggaische Adatrecht oleh Dr.JJ.Dormeier disebutkan bahwa pasca  Adi Cokro, ada delapan orang Mbumbu berturut-turut yang memerintah Kerajaan Banggai. Tiga diantaranya tercatat sebagai Mbumbu dinaadat atau raja yang dibunuh. Krisis panjang ini baru berarkhir setelah putera Adi Cokro, Maulana Prins Mandapar memerintah. Setelah ayahnya, Mandapar kemudian dianggap sebagai Raja Banggai pertama dan yang terbesar, ia kembali menegakkan kekuasaannya di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai, mulai dari Pulau Sonit sampai ke Balingara dan dari Rata sampai ke Teluk Tomini serta mendirikan suatu pemerintahan pusat di Banggai.

Adapun mengenai status dan posisi Syukuran Aminudin Amir dalam sejarah Kerajaan Banggai bukanlah Tomundo yang terlegitimasi secara utuh dan sah oleh tata aturan hukum formil kerajaan Banggai, melainkan hanya sekedar sebagai Pelaksana tugas harian Tomundo Banggai tatkala Tomundo Banggai Nurdin Daud yang yang baru berusia 12 tahun dikukuhkan oleh Basalo Sangkap pada tahun 1939 pasca mangkatnya Tomundo Awaludin sebagai tomundo Banggai ke 19. Namun karena mengingat usia raja Nurdin Daud yang terlalu belia untuk melaksanakan tugas kerajaan maka ditunjuklah S.A.Amir yang saat itu menjabat sebagai Mayor Ngofa sebagai pelaksana tugas (Plt). Namun kemudian amanat itu dibajak dengan mengukuhkan diri sebagai Tomundo yang legal meskipun tanpa restu dan tidak melalui pengukuhan oleh Basalo Sangkap sebagaimana ketentuan konstitusi kerajaan Banggai.

Belum cukup sampai disitu pada tahun 1941 rekayasa sejarah Kerajaan Banggai  itupun dimulai, setelah mengukuhkan dirinya sebagai Tomundo. Mengingat posisinya di dalam keraton kerajaan Banggai di Banggai yang tanpa legitimasi konstitusional sehingga tidak mendapat pengakuan dari Dewan Basalo Sangkap kala itu, maka atas dukungan kerjasamanya dengan Belanda yang berada di Luwuk, S.A. Amir  kemudian dengan berani memindahkan ibu kota kerajaan Banggai ke Luwuk meskipun tanpa izin dan restu dari raja muda Nurdin Daud dan Dewan Penasehat Basalo Sangkap. Ia kemudian menyebut dan menamakan suatu tempat yang berlokasi di dalam kota Luwuk dengan nama Keraton. Rekayasa ini seakan-akan bahwa kerajaan Banggai benar-benar telah mempunyai bangunan keraton sendiri di kota Luwuk sebagai pusat pemerintahan kerajaan Banggai yang baru.

Akhir periode Batomundoan Banggai atau Kerajaan Banggai adalah ketika terjadi peralihan status wilayah Banggai dari sistem swapraja Banggai menjadi daerah tingkat II (Dati II) Banggai. 

3. Istana Datu Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan
 
Istana yang berlokasi di tengah Kota Palopo ini merupakan pusat Kerajaan Luwu. Istana ini dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an di atas tanah bekas “Saoraja” (Istana sebelumnya yang terbuat dari kayu dan konon bertiang 88 buah) yang diratakan dengan tanah oleh Pemerintah Belanda.

Bangunan permanen ini dibangun dengan arsitektur Eropa oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan maksud untuk mengambil hati Penguasa Kerajaan Luwu. Namun oleh kebanyakan bangsawan Luwu, tindakan ini dianggap sebagai cara untuk menghilangkan jejak sejarah Kerajaan Luwu sebagai Kerajaan yang dihormati dan disegani kerajaan-kerajaan lain di jazirah Sulawesi secara khusus dan Nusantara secara umum.

Istana Luwu menjadi pusat pengendalian wilayah Kesultanan Luwu yang luas oleh Penguasa Kerajaan yang bergelar Datu dan atau Pajung  (Di Kerajaan Luwu terdapat 2 strata Penguasa/Raja yaitu Datu, kemudian di tingkat lebih tinggi Pajung). Di dekat Istana Luwu terdapat Masjid Jami yang usianya sangat tua dan keseluruhan dindingnya terbuat oleh batu yang disusun.

4. Saoraja Petta Ponggawae, Bone, Sulawesi Selatan
 
Sejarah mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar di Nusantara pada masa lalu. Kerajaan ini didirikan oleh Manurungnge Ri Matajang pada tahun 1330 dengan gelar Mata Silompo’e.

Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad ke-17 di masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroeri Bontoala.

5. Saoraja Mallangga, Wajo, Sulawesi Selatan
 
Wajo merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpin oleh kerajaan. Berbagai tradisi kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini. Salah satunya adalah pencucian benda pusaka peninggalan kerajaan. Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja (istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum di kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola.
 
Arsitektur Saoraja Mallangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas Belanda. Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.

Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusulkan menjadi museum pada tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.
Bangunan ini memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang raja dengan rakyatnya. Hal itu  dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus selalu terbuka lebar. Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti.
Saat ini, Saoraja tersebut dihuni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu Sangkuru yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya. Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini, seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.


6. Saoraja La Pinceng, Barru, Sulawesi Selatan
 
Saoraja La Pinceng merupakan salah satu rumah atau istana peninggalan kerajaan Balusu. Istana ini menjadi salah satu saksi perjuangan Kerajaan Balusu melawan penjajahan Belanda.

Awal mula kerajaan Balusu diperintah keturunan raja-raja Gowa. Namun ketika rakyat Balusu sudah tidak sudi lagi diperintah keturunan raja-raja Gowa, maka ketua adat kerajaan Balusu memohon kepada kerajaan Soppeng (Datu Soppeng). Permohonan ini untuk memberikan atau memperkenankan keturunan Datu Soppeng untuk menjadi raja Balusu. Namun semua anak laki-laki Datu Soppeng sudah memangku jabatan, maka diutuslah anak perempuannya, Tenri Kaware untuk menjadi Ratu Balusu.

Setelah Tenri Kaware memerintah kerajaan Balusu beberapa tahun, kemudian digantikan oleh puteranya, Andi Muhammad Saleh. Dalam masa pemerintahan Andi Muhammad Saleh, kerajaan Balusu dalam keadaan aman dan sentosa. Selain itu, kehidupan rakyat penuh kesehjahteraan dan hasil pertanian melimpah ruah. Raja ini terkenal sangat saleh dan berani, sehingga kemudian digelar dengan nama Andi Muhammad Saleh Daeng Parani Arung Balusu.

Atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kerajaan Soppeng dari kehancuran atas serangan yang dilancarkan gabungan kerajaan Wajo dan Sidenreng (Musu Belo atau Perang Belo), dia diberi gelar ‘Petta Sulle Datue’. Gelar ini juga memberikan kesempatan kepada Andi Muhammad Saleh untuk menggantikan Datu Soppeng jika berhalangan dan diserahi tugas dan tanggung jawab sebagai panglima perang di bagian barat kerajaan Soppeng. Dalam masa pemerintahannya, Andi Muhammad Saleh memindahkan pusat kerajaan dari Balusu ke Lapasu dan markas pertahanannya di Bulu Dua. Di Bulu Dua ini didirikan Saoraja Lamacan yang terkenal penuh dengan ukiran.

Saoraja La Pinceng sendiri  dibuat pada tahun 1895 terletak di Dusun Lapasu atau Bulu Dua Kabupaten Barru. Ukuran Ale Bola atau bangunan rumah induk berukuran kurang lebih 23,50 x 11 meter. Jumlah tiang Saoraja La Pinceng sebanyak 35 buah dengan panjang sekitar 6,50 meter, dan lebar sekitar 5,50 meter. Selain itu, juga terdapat sembilan buah tiang dengan ukuran 3 x 3 meter. Selain itu, di dalam lokasi Saoraja La Pinceng terdapat pula beberapa bangunan antara lain, rumah jaga, panggung pementasan, kamar mandi dan sumur. Luas lokasi secara keseluruhan sekitar 4.000 meter persegi.

7. Istana Balla Lompoa, Gowa, Sulawesi Selatan
 
Istana Tamalate dan Balla Lompoa adalah sisa-sisa Istana Kerajaan Gowa yang sekarang berfungsi sebagai museum. Di dalamnya terdapat berbagai harta pusaka peninggalan Kerajaan Gowa pada zaman keemasannya. Istana Tamalate dan Balla Lompoa terletak bersebelahan dalam satu kompleks di Sungguminasa, Gowa. Jarak lokasi ini sekitar 15 kilometer sebelah selatan pusat Kota Makassar.
Bangunan ini sama-sama berbentuk rumah panggung. Warnanya coklat tua, seluruhnya terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Tampak jelas usia bangunan ini tak lagi muda. Luas komplek adalah 1 hektare dan dikelilingi tembok tinggi.
Bangunan Istana Tamalate yang lebih besar dari Balla Lompoa adalah istana pertama Kerajaan Gowa sebelum kota raja dipindahkan ke dalam Benteng Somba Opu. Tapi Istana Tamalate yang sekarang berdiri di kompleks tersebut sebenarnya bukan bangunan istana yang asli karena yang asli sudah punah terkubur masa.

Istana replika ini dibangun pada saat Syahrul Yasin Limpo menjadi Bupati Gowa tahun 1980-an. Bahan dan ukurannya disesuaikan dengan aslinya berdasarkan kajian terhadap sejumlah naskah Makassar kuno (lontara) yang menceritakan tentang Istana Tamalate.
Sementara Balla Lompoa adalah istana asli Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng  Matutu, pada tahun 1936. Balla Lompoa dalam bahasa Makassar berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Fungsi Balla Lompoa adalah museum yang menyimpan simbol-simbol kerajaan, seperti mahkota, senjata, payung raja, pakaian, bendera kebesaran, serta barang-barang lainnya termasuk sejumlah naskah lontara.
Bangunan istana merupakan gabungan dari bangunan-bangunan utama dan pendukung yang saling terhubung. Bangunan dihubungkan dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter. Bagian depan bangunan adalah teras, lalu masuk ke ruang utama, dan ruang-ruang lainnya seperti kamar tidur yang pernah digunakan oleh raja.

8. Istana Malige, Baubau, Sulawesi Tenggara
 
Istana Sultan Buton (disebut Kamali atau Malige) meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat berdiri dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. 

Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang.

Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukiran naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan di bawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandung makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton. Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. Ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas ini dilambangkan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia.
Artikel ini diambil dari
https://springocean83.wordpress.com/2014/04/01/istana-istana-kerajaan-di-indonesia-yang-masih-ada-di-pulau-sulawesi/
Follow My Instagram : brahmasujana 
like + subscribe youtube : https://www.youtube.com/channel/UCTl8PGi3IPV5hIg2PtqweoQ

Related Posts:

Istana – Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada di Pulau Borneo

Hal-Hal Aneh DIDUnia 97 

eittsss belum selesaiii, ayo terbang ke Utara cusss ke Kalimantan yeyay :p :

1. Istana Alwatzikoebillah, Sambas, Kalimantan Barat
 
Bangunan ini merupakan istana Kesultanan Sambas  yang menjadi pusat pemerintahan di Sambas hingga berakhirnya kekuasaan kesultanan. Sebelumnya, Sambas merupakan Kerajaan Hindu yang di kemudian hari berubah menjadi Kerajaan Islam. Raden Sulaiman merupakan Sultan Sambas pertama.

Setelah berhasil membangun Kota Bangun yang bahkan lebih maju dari Kota Lama, Raden Sulaiman memutuskan pindah ke Lubuk Madung yang merupakan lokasi pertemuan tiga sungai, yaitu Sungai Subah, Sungai Sambas Kecil, dan Sungai Teberau. Di lokasi inilah didirikan Istana Kesultanan yang hingga sekarang dikenal dengan nama Istana Alwatzikoebillah.
Namun, istana yang terlihat sekarang ini baru dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin, sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Pembangunan istana tersebut relatif singkat, yaitu dari tahun 1933 sampai tahun 1935. Konon, biayanya yang mencapai 65.000 gulden itu merupakan pinjaman dari Kesultanan Kutai Kartanegara.

2. Istana Amantubillah, Mempawah, Kalimantan Barat
 
Istana Amantubillah merupakan nama istana dari Kerajaan Mempawah. Nama Amantubillah berasal dari bahasa Arab, yang berarti “Aku beriman kepada Allah”. Berdasarkan catatan sejarah, istana ini dibangun pada masa pemerintahan Gusti Jamiril pada tahun 1761 setelah beliau dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Mempawah untuk menggantikan ayahandanya yang bernama Upu Alinu Malinu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara. Saat Gusti Jamiril diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau menyandang gelar  sebagai Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya yang berkuasa atas seluruh rakyat yang berada di daerah Kerajaan Mempawah.

Belum lama dinobatkan menjadi Raja Mempawah, atas nasihat Mufti Kerajaan, Tuan Besar Habib Husain Alkadri, beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari Sebukit Rama ke dekat Kampung Galahirang, di lokasi Sang Mufti bertempat tinggal. Di situlah istana pertama dari Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya berdiri tegak.

Pada tahun 1880, Istana Amantubillah mengalami kebakaran ketika tampuk kekuasaan istana dipegang oleh Gusti Ibrahim yang bergelar Panembahan Ibrahim Mohammad Syafiuddin. Setelah itu, Istana Amantubillah direhabilitasi beberapa kali hingga dapat berdiri kembali pada hari Kamis, 22 November 1922 pada masa Panembahan Mohammad Taufik Akkamadin.

Kompleks Istana Amantubillah dibagi dalam tiga bagian, yaitu bangunan utama, bangunan sayap kanan, dan sayap kiri. Pada zaman dahulu, bagunan utama merupakan tempat singgasana raja, permaisuri, dan tempat tinggal keluarga raja. Bangunan sayap kanan adalah tempat untuk mempersiapkan keperluan dan tempat untuk jamuan makan keluarga istana. Sedangkan bangunan sayap kiri merupakan aula dan tempat untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.

3. Keraton Ismahayana, Landak, Kalimantan Barat
 
Keraton milik Kerajaan Ismahayana Landak ini dibangun pada masa pemerintahan raja ke-7, yakni Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya (Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Beliau merupakan raja terakhir di pusat kerajaan Ningrat Batur. Sepeninggal beliau, sang putra mahkota yang kemudian naik tahta dan bergelar Pangeran Ismahayana ini memindahkan pusat kerajaan ke Mungguk Ayu. Pangeran Ismahayana kemudian memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahar.

Kompleks istana ini mencakup Istana Landak (Istana Ilir), kediaman permaisuri (Istana Ulu) serta kediaman Neang Raja (Rumah Sultan). Istana ini mulai dipugar dan direnovasi kembali sekitar tahun 1950-an dan 1960-an setelah peristiwa kebakaran yang mengakibatkan kerusakan pada beberapa bagian istana. Perbaikan bangunan ini juga telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah daerah. Kondisi kompleks keratin saat ini merupakan hasil renovasi sekitar tahun 2000-an.

4. Istana Kadriyah, Pontianak, Kalimantan Barat 
 
Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie., keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha di daerah muara Sungai Kapuas. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I).  Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.

Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad (Sultan VI) merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada tanggal 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepang inilah yang menjadi faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.

Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II (Sultan VII)  inilah, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu, Sultan Hamid II menjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950.

5. Istana Kubu, Kubu Raya, Kalimantan Barat
 
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pernah berdiri sebuah Kerajaan bernama Kubu, yang terbukti hingga saat ini dengan adanya makam seorang pendirinya, Syarif Idrus bin Abdurrahman Al-Idrus yang menjadi raja kesultanan pada waktu itu.

Awal mula tempat ini disebut dengan nama Kubu dan kemudian menjadi Kesultanan Kubu karena benteng pertahanan yang dibangun oleh para pengikut setia Syarif Idrus terbukti kuat. Kendati telah berkali-kali mendapat serangan dari musuh, tapi benteng pertahanan ini masih cukup ampuh menahannya. Kedigdayaan benteng tersebut justru membuat penduduk Kubu menjadi lengah. Mereka terlanjur sangat meyakini bahwa benteng perkampungan mereka tidak dapat ditembus oleh musuh yang sekuat apapun. Mereka tidak memperhitungkan lagi bahwa musuh tetap mencari akal untuk menerobos benteng hinggapada suatu ketika, terjadilah serbuan mendadak dari orang-orang Siak. Karena dalam kondisi yang tidak siap, pihak Kubu menjadi kocar-kacir karena serangan itu.

Saat serbuan itu terjadi, Syarif Idrus yang sedang menunaikan ibadah shalat akhirnya tewas terbunuh. Atas kejadian tersebut, penduduk Kubu dan keturunannya bersumpah tidak akan menjalin kekerabatan, termasuk menikah dan dinikahi, dengan dan oleh orang Siak beserta anak-cucunya.

Setelah era penjajahan Belanda dan Jepang berakhir, wilayah Kesultanan Kubu dijadikan sebagai wilayah Self Bestuur (kurang lebih setara dengan daerah otonomi) sejak tahun 1949-1958. Pada tahun 1958 itulah riwayat Kesultanan Kubu berakhir dan menggabungkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kota Kubu kemudian menjadi ibukota Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.

6. Istana Paku Negara, Tayan, Kalimantan Barat
 
Istana Kerajaan Tayan ini dibangun oleh Gusti Jamal. Sampai saat ini bangunan bersejarah ini masih dalam kondisi aslinya dan terawat dengan cukup baik. Beberapa benda bersejarah yang terdapat di dalamnya antara lain meriam, keris, busana kerajaan dan sajadah sembahyang raja. Istana ini dapat ditemui di Tayan, 70 kilometer dari kota Sanggau, berlokasi dekat dengan sungai Kapuas.

Adapun Kerajaan Tayan didirikan oleh Gusti Lekar, anak kedua dari Panembahan Dikiri (Raja Matan). Anak Panembahan Dikiri yang pertama adalah Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuidin yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifudin adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam oleh tuan Syech Syamsuddin dan mendapat hadiah dari Raja Mekah berupa sebuah Qur’an kecil dan sebentuk cincin bermata jamrut merah.

7. Istana Surya Negara, Sanggau, Kalimantan Barat
 
Dari catatan sejarah, Kerajaan Sanggau didirikan oleh Daradante, pendatang dari Ketapang yang menikah dengan Babai Cingak dari suku Dayak Sanggau. Pusat pemerintahan berada di Desa Mengkiang (ke arah hulu sungai  Sekayam).  Kemudian pada tahun 1826 Sultan Ayub sebagai panembahan kala itu, memindahkan pusat kerajaan Sanggau ke Desa Kantuk. Keraton Surya Negara menjadi saksi bisu kebesaran masyarakat Sanggau kala itu.

8. Istana Al Mukarrammah, Sintang, Kalimantan Barat
 
Asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari kedatangan seorang tokoh penyebar agama Hindu bernama Aji Melayu yang datang ke Nanga Sepauk (Sekarang Kecamatan Sepauk) pada abad ke-4. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat disebut Batu Kelebut Aji Melayu. Putung Kempat adalah istri Aji Melayu yang kemudian menurunkan raja-raja di Sintang. Di daerah ini juga ditemukan batu yang menyerupai lembu serta makam Aji Melayu.

Pendirian Kerajaan Sintang dilakukan Demong Irawan, keturunan kesembilan Aji Melayu, pada sekitar abad ke-13. Demong Irawan mendirikan keraton di daerah pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas yaitu di Kampung Kapuas Kiri Hilir sekarang. Mulanya daerah ini diberi nama Senentang, yaitu kerajaan yang diapit oleh beberapa sungai. Lambat laun penyebutan Senentang berubah menjadi Sintang. Sebagai lambang berdirinya kerajaan itu, Demong Irawan yang memakai gelar Jubair Irawan I menanam sebuah batu yang menyerupai buah kundur. Batu itu kini berada di halaman Istana Sintang.

9. Istana Muliakarta, Ketapang, Kalimantan Barat
 
Istana ini merupakan istana Kesultanan Matan Tanjungpura, kesultanan tertua yang terdapat di provinsi Kalimantan Barat. Istana ini juga dikenal dengan nama Istana Panembahan Gusti Muhammad Saunan, yang diambil dari nama salah seorang sultannya yang terkenal dengan kewibawaan dan kecerdasannya.

Istana Muliakarta pertama kali dibangun oleh Pangeran Perdana Menteri yang bergelar Haji Muhammad Sabran, sultan ke-14 kesultanan ini. Istana tersebut mengalami perombakan secara besar-besaran pada era pemerintahan sultan ke-16, yakni Gusti Muhammad Saunan. Beliau mengganti arsitektur istana dengan gaya arsitektur Eropa karena beliau pernah studi di Belanda dan tinggal cukup lama di negeri kincir angin tersebut.

Keanggunan istana yang mayoritas konstruksi bangunannya terbuat dari kayu ulin ini sudah dapat dilihat dan dirasakan dari jauh. Warna kuning yang merupakan lambang kewibawaan dan keluhuran budi pekerti dalam budaya Melayu, amat mendominasi dalam bangunan ini. Gapura yang artistik dan cantik dengan dominasi warna kuning mencerminkan simbol keramahan segenap penghuni istana dan menandakan bahwa istana tersebut terbuka bagi semua kalangan.

10. Istana Kuning, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah
 
Menurut catatan sejarah, Pangeran Adipatih Anta Kusuma yang mendirikan satu-satunya Kerajaan di Kalimantan Tengah ini, dan sekaligus menjadi Raja Pertama di Kesultanan Kutaringin. Pangeran ini  merupakan anak ke-empat dari Raja Banjar. Pendirian kerajaan ini berdasarkan perundingan dengan ayahnya untuk menghindari perebutan tahta dengan kakak tertua beliau yang menjadi ahli waris Kesultanan Banjar.
Sang pangeran pun memutuskan pergi untuk mendirikan kerajaan baru di daerah tengah Kalimantan. Ketika berkelana di hutan bersama dengan prajuritnya, sang Pangeran terkejut saat melihat puluhan pohon beringin besar yang tertata sangat rapih di pedalaman hutan, dan akhirnya menjadi inspirasi nama kesultanannya, yang berasal dari dua kata yaitu kuta (pagar) dan ringin (beringin).
Pada saat kekuasaan Pangeran Ratu Imannudin, raja ke-sembilan kesultanan ini, pusat kerajaan diputuskan untuk dipindahkan ke daerah baru, karena daerah baru tersebut memiliki letak yang lebih strategis dan aman bagi sebuah kerajaan. 
Istana Kerajaan baru Kesultanan Kutaringin diberi nama dengan Istana Kuning. Istana Kuning terdiri dari empat bangunan yaitu: Bangsal (tempat penerimaan tamu kerajaan), Rumbang (tempat raja bersemedi), Dalem Kuning (pusat pemerintahan, dan tempat tinggal raja), dan Pedahiran (ruang makan kerajaan). 
Namun naas, pada tahun 1986 istana yang terkenal dengan pintu kerajaan berwarna kuning itu di bakar oleh seorang wanita gila bernama Draya dan tidak meninggalkan satu barang pun.

11. Istana Sadurangas, Paser, Kalimantan Timur
 
Kerajaan Paser Belengkong dulunya bernama kerajaan “Sadurangas”. Adapun asal-usul keturunan raja-raja Pasir ialah Kuripan (Amuntai sekarang), yang menurut ceritanya pada pertengahan abad ke XVI (kira-kira dalam tahun 1565) di daerah Kuripan ini mengalami pergolakan di kalangan pemerintahannya sendiri.

Kira-kira pada pertengahan tahun 1575 Masehi, Putri Betung diangkat dan diakui oleh penduduk sekitar sebagai raja pertama di Sadurangas (Pasir). Setelah Putri Betung dewasa, Ia dikawinkan dengan seorang raja dari tanah Jawa (Giri), bernama Pangeran Indera Jaya, yang datang dengan kapal layar yang membawa sebuah batu. Setelah perkawinan itu, maka batu yang dibawanya dari Jawa (Giri) lalu dibongkarnya, sehingga sampai sekarang batu tersebut masih tersimpan di Kampung Pasir (Benua) yang lebih dikenal oleh penduduk sekitar dengan sebutan “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang. Yang menurunkan silsilah raja-raja Pasir hingga saat ini adalah cucu Putri Benung yang bernama Adjie Anum.

Istana Kerajaan Paser Belengkong ini dibangun pada abad 18 oleh Sultan Ibrahim Khalilludin.

12. Kedaton Kutai Kartanegara, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur
 
Istana milik Sultan Kutai Kartanegara ini terletak di pusat kota Tenggarong, Kalimantan Timur. Istana ini selesai dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2002 setelah dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
.
Meski telah resmi menjadi milik Sultan Kutai Kartanegara, istana baru ini lebih difungsikan sebagai kantor lembaga kesultanan serta sebagai tempat pelaksanaan acara seremonial oleh Sultan atau Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Arsitektur Kedaton Kutai Kartanegara merupakan perpaduan gaya modern dan gaya istana Kerajaan Kutai Kartanegara. Bentuk kedaton baru ini mengacu pada bentuk Keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin. Ruangan istana nampak megah dan mewah dengan tatanan Singgasana Sultan yang dikelilingi oleh kursi yang terbuat dari emas. Di sebelah kiri singgasana terdapat Gamelan Jawa. Di dalam Kedaton juga terdapat banyak ukiran yang berciri khas adat Kutai, Dayak dan Jawa untuk menunjukkan bahwa Kerajaan ini memiliki hubungan sejarah yang erat dengan suku Dayak dan kesultanan di Jawa.

13. Istana Gunung Tabur, Berau, Kalimantan Timur
 
Kerajaan Gunung Tabur adalah merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Pada awal abad 19, dua anak Sultan Berau, Sultan Muh. Zaenal Abidin, yakni Alimunddin Raja Alam dan Muh. Badaruddin bertikai memperebutkan tahta.

Kesempatan ini dipakai oleh Belanda untuk memecah Kerajaan Berau menjadi dua, yaitu Kerajaan Gunung Tabur yang dipimpin oleh Sultan Muh Badaruddin, dan Kerajaan Sambaliung yang dipimpin oleh Sultan Alimuddin Raja Alam. Wilayah kedua kerajaan ini dipisahkan oleh Sungai Segah. Sementara istana keduanya tepat saling berhadapan.

Campur tangan Belanda pada kerajaan Gunung Tabur ini sangat tinggi. Terbukti dari lambang kerajaannya sangat dipengaruhi oleh gaya Eropa. Entah mengapa Kerajaan Gunung Tabur memilih dua macan sebagai simbol kerajaan, sedangkan di Kalimantan tidak ada harimau. Bukan hanya lambang kerajaan, namun kostum Sultan, pedang yang disandang dan meriam-meriam  menunjukkan betapa Belanda berpengaruh sangat besar kepada Kerajaan Gunung Tabur. Hal ini bisa dimengerti karena wilayah Berau banyak menghasilkan batubara yang dibutuhkan Belanda untuk menjalankan kapal-kapalnya.

Istana Kerajaan Gunung Tabur yang ada saat ini bukan bangunan asli lagi karena pada zaman pendudukan Jepang, istana asli telah hancur dibom oleh Sekutu. Pembangunan ulang yang benar- benar mempertahankan arsitektur dan bahan-bahan seperti istana aslinya juga mengubah fungsi istana menjadi sebuah museum yang diberi nama Museum Batiwakkal.
Adapun koleksi-koleksi yang berjumlah lebih dari 700 buah yang terdapat dalam museum ini berasal dari dua putri Sultan terakhir Kerajaan Gunung Tabur. Mengingat bahwa mereka tidak menikah, maka keduanya menyerahkan semua koleksi benda-benda kerajaan kepada pemerintah. Sebagai imbalan, pemerintah memberangkatkan mereka berdua untuk berhaji dan memberikan pensiunan berupa biaya hidup. Sampai saat ini kedua putri tersebut tinggal di rumah megah yang dibangun persis di sebelah museum..

14. Istana Sambaliung, Berau, Kalimantan Timur
 
Keraton Sambaliung atau Istana Sambaliung di kabupaten Berau provinsi Kalimantan Timur adalah salah satu bukti sejarah adanya kesultanan Sambaliung. Sepeninggal Sultan Sambaliung ke-8, yakni Sultan Muhammad Aminuddin pada tahun 1959, istana Sambaliung kemudian dialihfungsikan menjadi museum yang menyimpan banyak benda-benda bersejarah. 
Beberapa benda bersejarah yang dapat disaksikan oleh pengunjung yang datang antara lain adalah sebuah tugu prasasti yang terbuat dari kayu ulin bertuliskan huruf Arab-Melayu dan dua buah tugu yang ditulisi dengan aksara asli suku Bugis yang terletak di halaman depan keraton. Koleksi lain yang cukup unik adalah adanya buaya sepanjang 4 meter yang telah diawetkan dan dipajang dalam kotak kaca di bagian luar keraton. Keraton yang memiliki ciri khas desain bangunan China ini memiliki 12 kamar dan 1 ruang utama di bagian tengah. 
Ruang utama di keraton ini biasanya dipakai untuk menggelar pertemuan-pertemuan adat dan pertemuan lainnya, juga sebagai tempat penobatan atau pemberian gelar bangsawan pada keturunan Sultan Sambaliung. Keraton ini juga memiliki 4 buah taman, yang ketiga diantaranya berada di bagian depan. Di bagian depan juga terdapat gapura yang dihiasi lambang keraton Sambaliung diatasnya.

Keraton yang konon pernah diserang dan dicoba untuk dihancurkan pada masa pendudukan Jepang dan Belanda ini masih berdiri kokoh di tepi sungai Kelay.

15. Istana Tanjung Palas, Bulungan, Kalimantan Timur
 
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin. Negeri Bulungan bekas daerah milik “negara Berau” yang telah memisahkan diri sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari “Negara Berau” (Berau bekas  vazal Banjar).

Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah Bulungan menerima status sebagai Wilayah Swapraja Bulungan atau “wilayah otonom” di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. Kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak pada tahun 1964 dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya menjadi kabupaten yang sederhana.

Namun sekarang telah dibangun duplikat istana tersebut. Di belakang bangunan istana terdapat bangunan masjid tua dan kuburan Datuk Djalaludin beserta keluarganya.
Artikel ini diambil dari
https://springocean83.wordpress.com/2014/03/31/istana-istana-kerajaan-di-indonesia-yang-masih-ada-di-pulau-borneo/
Follow My Instagram : brahmasujana 
like + subscribe youtube : https://www.youtube.com/channel/UCTl8PGi3IPV5hIg2PtqweoQ

Related Posts: